Aku masih terlelap ketika aku kehilangan orang yang paling
aku kasihi, Ibu. Aku hanya punya Ibu setelah perang memisahkan Ayah dan Ibuku
untuk selamanya. Ibu akan selalu memeluk ku, saat aku tidur. Sampai di hari
itu. Tiba-tiba saja suara gemuruh datang. Ku rasakan tubuh yang memelukku seperti
bergegas, namun langsung terjatuh. Aku
menangis, sementara Ibu terus mendekapku erat. Allahu Akbar!!... suaranya lirih
terdengar di telingaku. Setelah itu semua menjadi gelap.
Mataku terbuka perlahan. Kurasakan sakit di kepalaku. Tangan
kananku tak bisa bergerak. Perlahan kuamati sekelilingku. Sebuah selang kecil
dan jarum tertancap di tanganku. Aku berada di sebuah ruang putih yang senyap. Terlihat
beberapa wajah gugup memandangiku.seorang pria dengan jenggot putih memegang
pipi ku. Ia tersenyum.
3 tahun berlalu. Ku isi hari-hariku di penampungan yang oleh
orang-orang disebut pengungsian. Sosok ramah suster berjubah putih sedikit
menghiburku. Setiap pagi Ia memandikanku, mengurus aku. Tapi saat aku melihat
anak-anak sebayaku bergandengan tangan dengan ibunya, aku menjadi sangat sedih.
Aku teringat pada Ibu. Ia selalu menemaniku sepanjang hari. Bila aku menangis
ia akan menyesapkan putingnya ke bibirku yang kecil. Biasanya aku akan diam dan
tertidur. Ketika rindu tak tertahan
lagi, aku hanya bisa mengambar sosok perempuan yang hangat seperti Ibuku. Ya,
seperti Ibuku. Perempuan yang selalu ceria dengan tubuh sedikit gemuk, berambut
panjang. Ia akan membelaiku hingga aku tertidur, dalam dekapnya.
Sekali lagi ku panjatkan doa untuk Ibu.
:Untuk anak pengungsi Syria yang harus kehilangan orang yang dicintai karena perang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar