Salah satu bentuk gunungan
Pernah dengar kata gunungan?
Dalam masyarakat Jawa, Kata ini
merujuk pada berbagai hasil bumi yang disusun sedemikian rupa menyerupai bentuk
gunung. Dalam budaya Jawa, gunung memiliki makna simbolik tentang semakin
tingginya kesadaran diri manusia. Pada zaman dahulu tempat-tempat pemujaan
banyak didirikan dipegunungan. Bagi yang ingin mencari ketenangan dan
ketentraman pun menyepi di atas gunung. Itu sebabnya di akhir pementasan wayang
kulit diakhiri dengan tancep kayon berbentuk gunungan. Yakni selain sebagai
tanda bahwa pertunjukan telah usai, juga manusia (penonton wayang) memiliki pemahaman
pada kesadaran hidup yang lebih baik. Pementasan wayang adalah gambaran “buwana
alit” sedangkan hidup yang dijalani manusia adalah “buwana ageng”.
Gunungan selalu dihadirkan dalam
kegiatan budaya di Yogyakarta. Jika dahulu gunungan biasanya tebuat dari aneka
sayur-sayuran, kini banyak gunungan menggunakan makanan yang sudah jadi. Beberapa
bentuk gunungan yang pernah saya lihat adalah gunungan bakpia, gunungan apem, gunungan
buku, gunungan dompet, dan gunungan jajanan pasar. Meski bahan pembuatnya beda,
namun bentuknya selalu sama, yakni menyerupai kerucut.
Penggunaan bahan gunungan sejatinya
tergantung pada bentuk hajatan yang digelar. Misal saja gunungan buku yang
dibagikan pada hari pendidikan 2 Mei, atau gunungan jajanan pasar dalam rangka
kirab lor negoro, di kampung kricak, Tegalrejo, Kota Jogja yang saya saksikan
pada hari Minggu ini.
Gunungan selalu menarik banyak
orang untuk hadir di acara tersebut. Selain petugas yang membawa gunungan,
banyak masyarakat yang berjalan di belakang kirab gunungan. Menunggu kapan
gunungan akan di bagikan, atau lebih tepatnya diperebutkan. Disitulah daya “magis”
gunungan.
Mengapa orang-orang mau berebut
gunungan salah satunya karena mitos yang dibangun dalam wacana gunungan. Bagi orang
Jawa, apabila bisa mengadakan suatu hajatan besar maka diangap memiliki status
sosial yang lebih tinggi. Lalu bagi mereka yang mendapat undangan hajatan akan
merasa senang karena “diuwongke”. Dan ketika diundang dalam sebuah hajatan pastilah
mendapat jamuan. Gunungan juga menjadi semacam jamuan. Karena jumlahnya sedikit
maka ia menjadi istimewa. Karena istimewa ia lalu diperebutkan. Dan Ketika berhasil
mendapatkan gunungan maka muncullah rasa bangga karena menjadi penanda
kekuasaan, telah berhasil mengalahkan yang lain.
Yang paling menarik saat berebut
gunungan tak ada lagi teman, mana anak-anak ataupun orang tua. Semua akan mengerahkan segala
upaya untuk mendapat bagian gunungan. Saling sikut, injak menjadi tontonan bagi si pemilik hajat. Sungguh suatu pencerahan akan "makna gunungan" yang sebenarnya. Mungkin itulah gambaran
mengapa kita selalu tertarik menjadi berkuasa.
Slurrppp, ahhhhh....Bab I Tesis
saya selesai
bahahahahahaha
BalasHapus