Minggu, 26 November 2017

Gunungan

Salah satu bentuk gunungan 


Pernah dengar kata gunungan?
Dalam masyarakat Jawa, Kata ini merujuk pada berbagai hasil bumi yang disusun sedemikian rupa menyerupai bentuk gunung. Dalam budaya Jawa, gunung memiliki makna simbolik tentang semakin tingginya kesadaran diri manusia. Pada zaman dahulu tempat-tempat pemujaan banyak didirikan dipegunungan. Bagi yang ingin mencari ketenangan dan ketentraman pun menyepi di atas gunung. Itu sebabnya di akhir pementasan wayang kulit diakhiri dengan tancep kayon berbentuk gunungan. Yakni selain sebagai tanda bahwa pertunjukan telah usai, juga manusia (penonton wayang) memiliki pemahaman pada kesadaran hidup yang lebih baik. Pementasan wayang adalah gambaran “buwana alit” sedangkan hidup yang dijalani manusia adalah “buwana ageng”.
Gunungan selalu dihadirkan dalam kegiatan budaya di Yogyakarta. Jika dahulu gunungan biasanya tebuat dari aneka sayur-sayuran, kini banyak gunungan menggunakan makanan yang sudah jadi. Beberapa bentuk gunungan yang pernah saya lihat adalah gunungan bakpia, gunungan apem, gunungan buku, gunungan dompet, dan gunungan jajanan pasar. Meski bahan pembuatnya beda, namun bentuknya selalu sama, yakni menyerupai kerucut.
Penggunaan bahan gunungan sejatinya tergantung pada bentuk hajatan yang digelar. Misal saja gunungan buku yang dibagikan pada hari pendidikan 2 Mei, atau gunungan jajanan pasar dalam rangka kirab lor negoro, di kampung kricak, Tegalrejo, Kota Jogja yang saya saksikan pada hari Minggu ini.
Gunungan selalu menarik banyak orang untuk hadir di acara tersebut. Selain petugas yang membawa gunungan, banyak masyarakat yang berjalan di belakang kirab gunungan. Menunggu kapan gunungan akan di bagikan, atau lebih tepatnya diperebutkan. Disitulah daya “magis” gunungan.
Mengapa orang-orang mau berebut gunungan salah satunya karena mitos yang dibangun dalam wacana gunungan. Bagi orang Jawa, apabila bisa mengadakan suatu hajatan besar maka diangap memiliki status sosial yang lebih tinggi. Lalu bagi mereka yang mendapat undangan hajatan akan merasa senang karena “diuwongke”. Dan ketika diundang dalam sebuah hajatan pastilah mendapat jamuan. Gunungan juga menjadi semacam jamuan. Karena jumlahnya sedikit maka ia menjadi istimewa. Karena istimewa ia lalu diperebutkan. Dan Ketika berhasil mendapatkan gunungan maka muncullah rasa bangga karena menjadi penanda kekuasaan, telah berhasil mengalahkan yang lain.
Yang paling menarik saat berebut gunungan tak ada lagi teman, mana anak-anak ataupun  orang tua. Semua akan mengerahkan segala upaya untuk mendapat bagian gunungan. Saling sikut, injak menjadi tontonan  bagi si pemilik hajat. Sungguh suatu pencerahan akan "makna gunungan" yang sebenarnya. Mungkin itulah gambaran mengapa kita selalu tertarik menjadi berkuasa.

Slurrppp, ahhhhh....Bab I Tesis saya selesai

1 komentar: