Sabtu, 25 November 2017

Mitos Micin

Entah mengapa setiap mendengar kata micin,vetsin, MSG  ada kesan yang tidak mengenakkan di otak saya. Mungkin karena selama ini saya tidak suka makanan yang mengandung micin, ditambah minimnya pengetahuan saya tentang micin. Sejak kecil setiap saya memakan makanan yang mengandung Mononatrium Sodium Glutamat (MSG) yang tersisa kemudian  adalah lidah terasa kaku, pusing dan mual. Dari situ saya berasumsi tubuh saya tidak cocok dengan makanan mengandung MSG. Karenanya sekitar 20 tahun terakhir saya cenderung menghindari atau mengurangi konsumsi MSG pada hidangan yang saya makan. Kalaupun terlanjur mengonsumsi dan tubuh mulai bereaksi saya akan menetralisir dengan minum banyak air putih atau makan buah-buahan.
Meski kini telah ada penelitian terbaru tentang MSG yang menyebutkan MSG bermanfaat bagi tubuh selama tidak dikonsumsi berlebihan, saya tetap tak percaya beitu saja. Pasalnya saya tetap tidak bisa menyantap makanan kesukaan saya  seperti bakso atau mie ayam ber-MSG. Yang saya khawatir jangan-jangan saya selama ini telah menjadi korban dari wacana  kesehatan yang sudah menyelinap di kesadaran saya...wuidihhhh...
Dari sudut pandang ekonomi politik, kalau saja ada satu juta orang  yang tidak suka menggunakan micin mungkin akan membuat perusahaan pembuat MSG was-was. Lalu kalau yang tidak suka micin bertambah 10 juta orang maka perusahaan pembuat MSG akan kelimpungan bagaimana memasarkan produknya. JIka bertambah menjadi 100 juta orang yang tidak suka micin maka dijamin perusahaan pembuat MSG akan bankrut!! itu analisa dangkal saya.
Sekedar iseng googling ternyata ada 13 pabrik pembuat MSG di Indonesia. Studi yang dilakukan MARS tahun 2014 menyebutkan selama  6 tahun terakhir produksi aktual MSG di Indonesia terus meningkat dengan average growth 9,1 % per tahun. diikuti pula dnegan business value MSG di Indonesia dari Rp. 3,36 triliun tahun 2008 menjadi Rp. 6,61 triliun di tahun 2013. Sudah pasti penyerap MSG terbesar adalah industri kuliner dan keluarga.
Masuk akal kalau kini industri kuliner tumbuh subur dengan menawarkan makanan dengan rasa sedap gurih plus  tambahan perisa lainnya berbumbu MSG.  Karena dengan menambahkan MSG semua makanan menjadi sedap gurih apalagi dengan takaran yang pas, puluhan hingga ratusan mangkuk bakso/ mie ayam, akan memiliki rasa yang sama. Artinya untuk mendapatkan keuntungan besar tidak perlu menambah daging  karena akan  menambah mahal biaya untuk menciptakan rasa sedap gurih. Cukup gunakan bumbu sintetik MSg maka rasa dijamin  identik.
Kita tahu MSG adalah penyedap rasa buatan (sintetik) dari  glutamat. Glutamat adalah asam amino pembentuk protein. Zat ini tidak dihasilkan sendiri oleh tubuh, namun didapat dari bahan-bahan alami yang biasa digunakan sebagai penyedap makanan seperti daging, jamur, tomat, dan lain sebagainya.
Industrialisasi telah menempatkan MSG sebagai wacana seksi untuk tumbuh dan berkembangnya kapitalisme. Di satu sisi Soft Capitalism dengan  mengklaim tidak menggunakan MSG produk makanan dianggap lebih sehat. Klaim ini bisa membahayakan "nasib" pabrik pembuat MSG. Maka dimunculkanlah  wacana tandingan : MSG memiliki manfaat bagi kesehatan  oleh Hard Capitalism .
Kini istilah micin  digunakan untuk menyindir atau mengkritik pihak lain, khususnya  para generasi milenial yang hidup di era serba instan. Generasi milenial sering disebut generasi micin karena dianggap malas berpikir. Ibarat memberi micin yang harganya murah pada masakan, maka masakan menjadi sedap gurih. Lalu bagaimana dengan otak generasi milenial? apakah otomatis menjadi bodoh? Jika penelitian terbaru tentang micin menyebutkan micin membuat otak menjadi pintar kira-kira wacana tandingan apalagi yang akan ditampilkan?? Wacana benar atau salah tentang micin akan terus bertarung.  Maka silahkan dipilih sendiri. Bakso atau mie ayam kesukaan mu mau pake micin atau tidak??.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar