Ini dia pak yang pesen buku analisis wacana nya e******o?
kata seorang perempuan yang menjadi sekretaris di prodi kampus kami.
Aku yang merasa menjadi subjek perbincangan mencoba merespon “lho
emang kenapa dengan buku itu?” tanyaku.
Si dosen yang sedari tadi sibuk mengetik di laptop inventaris
dengan tatapan sinis segra menjawab “ya terserah aja kalau mau dibaca. Resiko ditanggung
sendiri kok”
“weh ada apa sih” tanyaku semakin penasaran. “Ini untuk
bacaan”, kataku lagi.
Sebelum si dosen menjawab, aku segera memberi penegasan” Saya
memang suka baca buku. Tapi saya bukan orang yang bisa langsung paham dengan
isi bacaan. Apalagi kalau itu tentang pemikiran tokoh. Maka dari
itu saya biasanya membaca buku ulasan dari orang lain terlebih dahulu sebelum
membaca buku utama”.
“lho semua buku memang ada untuk dibaca. Karena otak butuh
nutrisi maka harus diberi bacaan yang bergizi. Tubuh aja perlu makanan yang
bergizi kok”, ujarnya sambil mulutnya sedikit monyong.
….busyet nih orang, kenal juga baru di sini kok udah ngasih
ceramah “sengak”. Sok-sok an banget sih nih orang “ kataku dalam hati.
Dosen itu tetap saja nyerocos tentang buku. Yang kalau aku
tafsirkan ujung-ujungnya membicarakan buku karya e******o itu. Karena malas
menanggapi aku pun langsung pamit sambil tetap membawa buku karya e******o. Sembari
keluar ruangan, ku dengar si dosen mengumpat “ lagi diajak ngomong enggak sopan
pergi begitu saja…”
Lha siapa yang ngajak ngomong elu pak??
***
NB: sampai hari ini saya masih membaca buku itu sambil terus mengingatkan diri sendiri : jangan pernah mempercayai apa yang ditulis orang sampai kamu bisa menulisnya sendiri.
Mungkin pengalaman seperti itu pernah kalian temui, lebih
sepesifik lagi di KBM?
Ya, kritik, nyindir, hingga nyinyir itu emang hal biasa di KBM.
Bahkan bisa jadi kita menjadi bangga jika dikenal tukang kritik,nyindir dan
nyinyir. Tidak masalah sih karena memang di KBM
(katanya) harus kritis. Masalahnya kapan sih sebaiknya 3 hal itu diterapkan dan
kepada siapa? Kayaknya jarang kita saksikan ada orang yang mau mengkritik, menyindir dirinya sendiri. Atau jangan-jangan hobi mengkritik, nyindir, dan nyinyir (yang arti aslinya suka ngulang-ngulang perintah, cerewet)- tapi sering digunakan sewenang-wenang itu gejala mental kita yang sakit. Apa tidak sebaiknya kritik, menyindir, dan nyinyir juga ditujukan untuk diri kita sendiri?? dengan demikian kita bersikap adil pada diri kita dan orang lain.
Kok malah ribet ya?? Ah dasar (aku) manusia KBM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar