Tik tok tik tok (bunyi detik jam menuju 21.30 wib)
Kembali
ke rutinitas yang harus aku jalani.
Di sabtu sore yang mendung, tiba-tiba muncul hasrat menikmati
secangkir kopi pahit. Pilihan jatuh ke sebuah kedai kopi kecil di kawasan tugu.
Ide tentang kopi sejatinya muncul saat berkunjung ke Klinik Kopi, yang waktu
itu masih menempati sebuah pekarangan milik salah satu kampus tertua di
Jogjakarta. Sekitar 6 tahun lalu. Sejak saat itu aku menjadi tahu bagaimana
menikmati kopi. Maklum sebelumnya, saya seorang yang anti-kopi. Dari situ menikmati
kopi tanpa gula, krimer, apalagi susu menjadi “gaya” saya menikmati bubuk hitam
nan pahit ini.
Saat itu gerimis mulai turun, aku memilih duduk di sudut
depan kedai yang sepi sembari mengamati kesibukan manusia. Ini sudut terbaik
menikmati sore yang akan berlalu, pikirku. Dari kejauhan aku melihat seorang
laki-laki tua berjalan sedikit membungkuk, dengan membawa satu karung plasik
yang ia pikul di pundaknya.
“Ah, pengemis...batinku”. orang-orang yang berada disekitarnya tampak sinis terhadap
orang tua ini.
“Mungkin karena ia terlihat dekil, atau mungkin bau ?”gumamku
dalam hati. Tatapan mataku terus memandang laki-laki tua itu.
Sampai pada laki-laki tua itu seperti merasakan ada yang
mengawasinya. Ia melihatku.
Kami pun saling bertatapan.
Gerimis membuat rambut panjang laki-laki tua itu basah, begitu
juga dengan bajunya.
Ia pun berjalan mendekat. Ia menyapaku dengan sopan.
“Sugeng sonten, den. Menawi gadhah artos kula nuwun".
Hemm, rasa iba memenuhi hatiku. Ku rogoh saku celana, dan ku
berikan uang bergambar seorang pahlawan dari tanah jogjakarta. Sambil ku
berikan uang, aku pun bertanya, “jenengan dalemipun pundi ?”
“kulo namug mburi pasar
kranggan den.”, kata laki-laki tua itu.
Perasaan tidak enak kembali menyergap hati. Waduh bapak ini
manggil den, seperti aku ini seorang bangsawan aja. Buru-buru aku menjawab, “nuwun
sewu, ampun nimbali kula den, pak. Kula namung rakyat jelata”. maksud hati ingin berbasa-basi, rupanya bapak ini malah ngajak omong bahasa jawa halus
yang aku sendiri hanya bisa mengucapkan beberapa hal saja. Takut salah akhirnya
aku bertanya,.
“ maaf bahasa jawa saya tidak terlalau baik pak. Apakah kalau
saya memakai bahasa campur (indonesia jawa) bapak mengerti?”, tanyaku. Bapak itu
tersenyum, dan berkata sudah biasa kula mas. Kami pun tertawa bersama.
aku ajak ia duduk. Ia pun memperkenalkan diri, Tugiran katanya. Nama itu
menurutnya, akronim dari setu legi babaran (lahir sabtu legi). Nama itu diberikan oleh orang tuanya untuk
memudahkan mengingat nama anak dengan pasaran dalam penanggalan jawa. Pak Tugiran
bercerita tentang keluarganya. Ia memiliki 5 anak, namun anak keduanya
meninggal saat kecil. Istrinya Jariyah telah meninggal 5 tahun lalu. Pak Tugiran
mengaku rindu pada anak-anaknya yang kini hidup terpisah darinya, namun ia tidak ingin merepotkan anak-anaknya. Karena
itu ia memilih tetap bekerja diusia tuanya kini. Sebagai buruh di pasar
kranggan, dengan usia yang telah mencapai 70 tahun, pastilah ia kalah bersaing
dengan buruh pasar yang usianya lebih muda dan perkasa. Dan bila tak mendapat uang, Pak Tugiran kadang mengiba pada
orang yang dijumpainya.
Ngobrol ngalor ngidul dengan Pak Tugiran membuat aku menyelami
sejarah kehidupan orang Jawa yang nrimo dengan keadaan. Sikap tersebut
seringkali dieksploitasi oleh manusia moderen untuk memperalat orang-orang
seperti Pak Tugiran. Pak Tugiran termasuk orang yang kritis, ia banyak bertanya
tentang hal-hal yang substansial seperti mengapa kita ada? Untuk apa kita hidup
didunia?apakah uang memang bisa membeli semua kebutuhan kita?dsb. Namun dengan
usianya yang sekarang, Pak Tugiran mengaku pasrah dengan jalan hidupnya, dan
hanya berserah pada Sang Pencipta hidupnya. Ketika aku bertanya apakah ia bahagia, Pak
Tugiran menjawab, “saya bahagia pernah hadir di kehidupan ini”.
Bertemu dengan Pak Tugiran, aku seperti mengingat kembali
ajaran Socrates, tokoh yang memperkenalkan filsafat pada dunia. Pertanyaan kritisnya
tentang mengapa manusia sibuk menghamba pada konstruksi-konstruksi pemikiran
masih saja relevan dengan masa moderen. Pergulatan mencari
makna, memang seringkali membawa kita pada sisi kelam modernitas.
Tak terasa waktu sudah mendekati pukul 21.30. hujan sudah
reda, dan orang –orang mulai disibukkan kembali untuk mengejar mimpi- mimpinya.
Pak Tugiran pun pamit, dan aku melepasnya diantara hiruk pikuk kawasan tugu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar