Sabtu, 26 November 2016

Bertemu Socrates








Tik tok tik tok (bunyi detik jam menuju 21.30 wib)
Kembali ke rutinitas yang harus aku jalani.

Di sabtu sore yang mendung, tiba-tiba muncul hasrat menikmati secangkir kopi pahit. Pilihan jatuh ke sebuah kedai kopi kecil di kawasan tugu. Ide tentang kopi sejatinya muncul saat berkunjung ke Klinik Kopi, yang waktu itu masih menempati sebuah pekarangan milik salah satu kampus tertua di Jogjakarta. Sekitar 6 tahun lalu. Sejak saat itu aku menjadi tahu bagaimana menikmati kopi. Maklum sebelumnya, saya seorang yang anti-kopi. Dari situ menikmati kopi tanpa gula, krimer, apalagi susu menjadi “gaya” saya menikmati bubuk hitam nan pahit ini.
Saat itu gerimis mulai turun, aku memilih duduk di sudut depan kedai yang sepi sembari mengamati kesibukan manusia. Ini sudut terbaik menikmati sore yang akan berlalu, pikirku. Dari kejauhan aku melihat seorang laki-laki tua berjalan sedikit membungkuk, dengan membawa satu karung plasik yang ia pikul di pundaknya.
“Ah, pengemis...batinku”. orang-orang yang  berada disekitarnya tampak sinis terhadap orang tua ini.
“Mungkin karena ia terlihat dekil, atau mungkin bau ?”gumamku dalam hati. Tatapan mataku terus memandang laki-laki tua itu.
Sampai pada laki-laki tua itu seperti merasakan ada yang mengawasinya. Ia melihatku.
Kami pun saling bertatapan.
Gerimis membuat rambut panjang laki-laki tua itu basah, begitu juga dengan bajunya.
Ia pun berjalan mendekat. Ia menyapaku dengan sopan.
“Sugeng sonten, den. Menawi gadhah artos kula nuwun".
Hemm, rasa iba memenuhi hatiku. Ku rogoh saku celana, dan ku berikan uang bergambar seorang pahlawan dari tanah jogjakarta. Sambil ku berikan uang, aku pun bertanya, “jenengan dalemipun pundi ?”
 “kulo namug mburi pasar kranggan den.”, kata laki-laki tua itu.
Perasaan tidak enak kembali menyergap hati. Waduh bapak ini manggil den, seperti aku ini seorang bangsawan aja. Buru-buru aku menjawab, “nuwun sewu, ampun nimbali kula den, pak. Kula namung rakyat jelata”. maksud hati  ingin berbasa-basi, rupanya bapak ini malah ngajak omong bahasa jawa halus yang aku sendiri hanya bisa mengucapkan beberapa hal saja. Takut salah akhirnya aku bertanya,.
“ maaf bahasa jawa saya tidak terlalau baik pak. Apakah kalau saya memakai bahasa campur (indonesia jawa) bapak mengerti?”, tanyaku. Bapak itu tersenyum, dan berkata sudah biasa kula mas. Kami pun tertawa bersama.
aku ajak ia duduk. Ia pun memperkenalkan diri, Tugiran katanya. Nama itu menurutnya, akronim dari setu legi babaran (lahir sabtu legi). Nama itu diberikan oleh orang tuanya untuk memudahkan mengingat nama anak dengan pasaran dalam penanggalan jawa. Pak Tugiran bercerita tentang keluarganya. Ia memiliki 5 anak, namun anak keduanya meninggal saat kecil. Istrinya Jariyah telah meninggal 5 tahun lalu. Pak Tugiran mengaku rindu pada anak-anaknya yang kini hidup terpisah darinya, namun ia tidak ingin merepotkan anak-anaknya. Karena itu ia memilih tetap bekerja diusia tuanya kini. Sebagai buruh di pasar kranggan, dengan usia yang telah mencapai 70 tahun, pastilah ia kalah bersaing dengan buruh pasar yang usianya lebih muda dan perkasa. Dan bila tak mendapat uang, Pak Tugiran kadang mengiba pada orang yang dijumpainya.
Ngobrol ngalor ngidul dengan Pak Tugiran membuat aku menyelami sejarah kehidupan orang Jawa yang nrimo dengan keadaan. Sikap tersebut seringkali dieksploitasi oleh manusia moderen untuk memperalat orang-orang seperti Pak Tugiran. Pak Tugiran termasuk orang yang kritis, ia banyak bertanya tentang hal-hal yang substansial seperti mengapa kita ada? Untuk apa kita hidup didunia?apakah uang memang bisa membeli semua kebutuhan kita?dsb. Namun dengan usianya yang sekarang, Pak Tugiran mengaku pasrah dengan jalan hidupnya, dan hanya berserah pada Sang Pencipta hidupnya. Ketika aku bertanya apakah ia bahagia, Pak Tugiran menjawab, “saya bahagia pernah hadir di kehidupan ini”.
Bertemu dengan Pak Tugiran, aku seperti mengingat kembali ajaran Socrates, tokoh yang memperkenalkan filsafat pada dunia. Pertanyaan kritisnya tentang mengapa manusia sibuk menghamba pada konstruksi-konstruksi pemikiran masih saja relevan dengan masa moderen. Pergulatan mencari makna, memang seringkali membawa kita pada sisi kelam modernitas.
Tak terasa waktu sudah mendekati pukul 21.30. hujan sudah reda, dan orang –orang mulai disibukkan kembali untuk mengejar mimpi- mimpinya. Pak Tugiran pun pamit, dan aku melepasnya diantara hiruk pikuk kawasan tugu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar