Jumat, 11 November 2016

Media War

Tadi malam saya dan sejumlah teman jurnalis berkumpul. Suasananya santai tapi membicarakan masalah serius. Kami segera meluncurkan media on line. Puji Tuhan, alhamdulilah telah hadir media online kami : tiras.co.
Visi media ini cukukup idealis, mengabarkan kabar baik tentang ke-binekaan tunggal ika-an warga dunia. Ide ini berawal semakin terong-rongnya semangat pluralisme di Indonesia. hmmm...saya jadi teringat mata kuliah poskolonial, yakni ketika kita hendak menyatakan pluralitas disaat yang sama sekat-sekat semakin dipertebal dan akan membuat komunikasi menjadi sangat terbatas. Hal ini membuat pesimis  masa depan pluralisme di Indonesia. kira-kira bisakah media on line kami akan bertahan dalam persaingan media yang semakin berat?? 
Bisa jadi pesimisme ini muncul setelah mendengar kabar Donald Trump memenangkan pemilihan presiden AS. Trump bagi saya sangat extreme primordial. Ia ingin membuat tembok yang menjadi pembatas antara AS dengan negara lain yang disebut Trump sebagai sumber imigran gelap. Belum lagi islamphobia yang sering didengung-dengungkan oleh Trump. Kira-kira bagaimana masa depan AS dibawah kepemimpinan Donald Trump?? wallahualam.. 
Saya bukan anti-Trump. Tapi menarik untuk melihat kemenangan Trump dan kira-kira apa dampaknya di masyarakat yang semakin tak bersekat ini. Trump boleh saja melupakan latar belakang keluarganya yang multi etnis (ayah, ibu, nenek, dan kakeknya), namun nampaknya perbedaan itu disatukan oleh semangat kapitalisme. Kakek Trump dikenal sebagai pengusaha real estate yang kemudian diteruskan oleh Trump Organization. Ada spekulasi bahwa kemenangan Trump karena model kampanyenya yang menebar pesimisme terhadap globalisasi, karena justru merugikan AS. Kita tahu belakangan ini resesi ekonomi juga melanda AS, yang mengakibatkan  kelas pekekerja kehilangan pekerjaan, terutama di sektor manufaktur yang dialihdayakan ke luar AS. Kemenangan Trump  merupakan simbol kemarahan rakyat AS (khususnya kelas pekerja) terhadap elite politik di Washington DC yang dinilai tidak peka terhadap kesulitan ekonomi yang mereka hadapi. Sosok Trump yang berlatar belakang pebisnis dan bisa dengan mudah memasuki dunia politik, dinilai sebagai  wajah baru yang berbeda dengan politisi di Washington. Slogan kampanye Trump " Make US Great Again" ingin  mengembalikan "kebesaran AS" sebagai negara kapitalis besar yang bisa mengontrol dunia. Bandingkan dengan Hillary Clinton yang lebih menekankan kerjasama untuk memperbaiki citra AS yang 'buruk" dinegara-negara lain saat AS dipimpin George Walker Bush Jr. Ibaratnya buat apa ngurusin rumah tangga orang kalau rumah tangga sendiri aja malah berantakan, begitu kira-kira pragmatisme pemilih dalam pemilu AS saat ini. 

Ini berarti akan semakin menguatnya gejala primordial, individualisme ala kapitalisme AS. Ah, nampaknya Trump benar-benar tokoh republik yang konservatif. Trump lupa bahwa AS memang sebenarnya sudah bukan lagi  negara adidaya. Itu hanya citra usang yang masih saja digambarkan melalui film-film Holywood. Trump seakan ingin menutup mata terhadap kekuatan Tiongkok, Korea, dan India yang diprediksi akan menggusur pamor AS. JIka demikian kira-kira apa yang akan dilakukan Trump dengan janji-janji kampanyenya membuat AS kembali berjaya? jangan lupa, Trump  juga merupakan pemilik media , ia juga merupakan ahli komunikasi dan seorang entertain, ia bisa menebar teror sekaligus meninabobokan kita. Semoga kita segera bangun dari mimpi kita dan mengucapakan : you're welcome, "media war" 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar